Top Ad unit 728 × 90


Breaking News

recent

Banda Aceh, Pengemis Wanita dan Positive Peace

Pengemis di Mesjid Raya Baiturahman, banda Aceh. Foto: Medanbisnisdaily.com
Oleh:   (Acehtrend.co)
PASKA konflik dan tsunami, para pengemis di Banda Aceh semakin menunjukkan eksistensinya dibandingkan masa-masa sebelumnya. Jumlahnya pun semakin meningkat seiring pertumbuhan ekonomi masyarakat kota. Secara umum, pengemis dapat diartikan sebagai peminta-minta dengan berbagai cara. Secara khusus, mereka melakukannya di depan umum dan mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Mungkin ini berbeda dengan yang terjadi di ranah Pemerintahan. Yang paling menjadi perhatian serius adalah pengemis wanita.
Tidak sedikit wanita yang menceburkan dirinya dalam dunia pengemis. Padahal tidak sedikit pula dari mereka masih memiliki fisik yang prima, tanpa kecacatan, dan semestinya dapat bekerja tanpa harus menjadi pengemis. Lantas, apakah menjadi pengemis merupakan sebuah keterpaksaan?
Dalam penelitian Alkostar (1984) tentang kehidupan pengemis, ia beranggapan bahwa munculnya kaum ini disebabkan oleh dua (2) faktor yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi sifat malas bekerja dan mental yang tidak kuat, yang berasal dari diri seseorang. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Secara kasat mata, faktor yang paling menentukan wanita terjun ke dunia pengemis adalah kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidaksanggupan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan materialnya. Dalam konteks Banda Aceh, para pengemis wanita bukan hanya warga Banda Aceh saja, namun banyak juga yang merantau dari daerah lain untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik di kota. Hal ini berbanding terbalik dengan besaran dana (Triliunan Rupiah) yang tersedia bagi pembangunan Aceh paska tsunami dan paska konflik. Apakah Triliunan Rupiah ini tidak cukup mampu menggiring masyarakat Aceh terbebas dari belenggu kemiskinan? Atau mungkin dana yang besar ini hanya memberikan dampak bagi segelintir masyarakat saja?
Munculnya kondisi ini tidak lepas dari situasi paska konflik di Aceh. Dalam pandangan penulis, (walau tak sepenuhnya diimplementasikan) model liberal peacebuilding(pembangunan perdamaian berbasis liberal) yang diterapkan pasca MoU Helsinki 2005 memberikan pengaruh cukup besar bagi permasalahan dalam pertanyaan di atas. Hal ini juga tidak lepas dari sistem politik Indonesia yang menggunakan demokrasi liberal sebagai sandaran. Liberal peacebuilding fokus dalam membangun pertumbuhan yang berlanjutan (sustainable growth) berdasarkan mekanisme pasar (market), membangun institusi Pemerintahan yang dapat berdiri dan bekerja sendiri, praktek demokrasi yang inklusif, keamanan personal, dan penegakan hukum yang mantab (Newman, Paris & Oliver, 2009). Mekanismenya dengan membangun pemerintah yang kuat dan efektif. Harapannya, Pemerintah dapat menimbulkan spill-over effects terhadap peningkatan demokrasi dan ekonomi berdasarkan market dan kebebasan.
Ternyata model dan mekanisme seperti ini tidak cukup mampu merubah Aceh saat ini.Human security approach mengkritik model tersebut karena melupakan sisa kekuatan, pengaruh, mental dan pengalaman para elite politik pada masa konflik, serta hubungan di antara mereka (dalam konteks konflik yang diakhiri dengan perjanjian damai antara pihak yang bertikai, bukan konflik yang dimenangkan oleh salah satu pihak). Sehingga hal ini membentuk suprastruktur baru yang berasal dari sisa-sisa tersebut (Valters, van Veen & Denney, 2015).
Ketika pertumbuhan ekonomi tidak terkontrol dan terkonsentrasi dalam pusaran para elite, maka tumpok masyarakat mayoritas yang umumnya bersandar pada sektor ekonomi informal tidak lagi tersentuh. Hal ini membuat masyarakat kembali masuk dalam cycle-of-grievance (lingkaran kekecewaan, yang lazim berasal dari pengkhianatan kemudian menimbulkan kebencian) dan membuat jurang baru antara Pemerintah, elit (penguasa), dan rakyat jelata. Konteks terburuknya, hal ini dapat mengancam perdamaian dengan lahirnya motif dan gerakan politik (dengan penggunaan senjata ataupun tidak) dan dapat meningkatkan tindakan criminal. Dalam konteks yang lain (yang lebih baik), hal ini berdampak terhadap peningkatan kemiskinan dan menjadi alasan utama bagi naiknya angka pengemis di Banda Aceh dan Aceh secara keseluruhan, terutama para kaum hawa.
Selain kemiskinan, pendidikan juga mempengaruhi terhadap eksistensi pengemis wanita di Banda Aceh. Keluarga yang bersifat apatis dan hanya bertanggung jawab atas masa temporal anggota keluarganya mempengaruhi generasi yang seharusnya dapat melihat masa depan akhirnya menjadi kelam. Lingkungan masyarakat yang tidak sepenuhnya visioner dan tidak dapat melihat masa depan juga berdampak pada lahir dan berkembangnya generasi peminta-minta. Hal ini tidak lepas pula dari kondisi konflik sebelumnya yang mengganggu pendidikan (baik secara formal maupun informal) di Aceh.
Budaya dan ideologi “lebih baik tangan di atas dibandingkan tangan di bawah” juga memberikan legitimasi efektif bagi para peminta (tangan di bawah) untuk terus meminta. Dan masyarakat “tangan di atas” juga merasa terlecut untuk memperbanyak pemberian kepada “tangan di bawah” (Shadaqah). Sebuah kombinasi yang efektif bukan?
Selain faktor eksternal di atas, sifat malas dan kurangnya kreatifitas juga memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan usaha pengemis di kota Banda Aceh. Hal ini juga tidak lepas dari pengaruh faktor eksternal di atas yang membentuk pikiran mereka. Meminta bukanlah hal yang memalukan lagi bagi mereka.
Tumbuh berkembangnya pengemis wanita menambah daftar hitam wanita dalam perkembangan dunia (termasuk Banda Aceh) yang selalu dikaitkan dengan isu gender selama ini. Usaha pengemis sama halnya dengan usaha jasa atau manufaktur. Produk yang dijual berupa tampilan visual yang dikemas dengan bermacam gaya yang kompetitif bertujuan untuk mempengaruhi rasa iba dan kasihan bagi si pemberi. Banyak yang layak untuk disantuni, tapi juga banyak yang hanya sekedar “akting”. Lebih parahnya, para pengemis wanita ini membawa balita untuk menambah pakem nilai jual jualnya. Dan berdasarkan eksplorasi teman-teman di media social dan penulis sendiri, anak-anak ini juga dapat disewakan. Selain bekerja personal, ada pula pengemis wanita yang digerakkan oleh sistem mafia yang terstruktur.
Wanita, Pemerintah, dan positive peace     
Hematnya, peran Pemerintah diperlukan untuk merubah kondisi ini. Penyediaan lapangan pekerjaan yang sesuai dan setara “menggiurkannya” dengan meminta-minta perlu disediakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh. Usaha kecil dan menengah dapat menjadi solusi dalam meminimalisir eksistensi pengemis wanita di Kota Banda Aceh. Selain itu, pendidikan terhadap mereka juga perlu diberikan terutama tentang “MALU” dan bermasyarakat sesuai dengan prinsip madani dan berperadaban. Yang perlu ditekankan, harkat dan martabat kaum wanita tidaklah rendah. “Ummi..Ummi..Ummi..” jawaban Rasulullah SAW saat ditanya oleh Sahabat, siapa yang seharusnya yang paling dihormati oleh seseorang. Wanita bukan hanya berlindung dibalik lelaki, tapi juga harus mampu membuktikan posisi mereka dalam masyarakat. Wanita dapat melakukan apapun (selama dalam batasan norma dan hukum) dan diharapkan melahirkan generasi cerdas yang berguna bagi bangsa.
Selain itu, permasalahan ini tidak akan selesai tanpa campur tangan Pemerintah Aceh. Pemerintah harus faham dan mampu memperbaiki kondisi faktor eksternal di atas. Faktor eksternal ini menjadi kunci dalam mengurangi potensi berkembangnya produksi usaha mengemis di Kota Banda Aceh. Bukan hanya itu saja, hal tersebut dapat meminimalisir potensi pecahnya konflik bersenjata kembali, menurunkan ketegangan wacana pemekaran ALABAS, mengurangi angka tindakan kriminal, dsb. Sehingga transformasi Aceh darinegative peace ke positive peace bukan omong kosong semata.[]
Tulisan ini merupakan karya bersama antara:
Lidia Maqfirah, Mahasiswa Prodi Ilmu Politik, Fisip UIN Ar-Raniry. email: lidiamaqfirah@yahoo.com
 Danil Akbar Taqwadin, Akademisi Fisip UIN Ar-Raniry. danylabay@ymail.com
Banda Aceh, Pengemis Wanita dan Positive Peace Reviewed by Redaksi Redaksi 07:32:00 Rating: 5

No comments:

All Rights Reserved by Tebar Suara © 2016 - 2017
Thema Design JOJOThemes

Contact Form

Name

Email *

Message *

Sertakan Sumber untuk Setiap Kutipan. Powered by Blogger.