Top Ad unit 728 × 90


Breaking News

recent

Pilkada “Halal” Ala Aceh

Pilkada Halal Aceh

Tebar Suara | BELAKANGAN, wacana Halal kian mendapat tempat di tanah air. Tentu belum lekang di ingatan kita, beberapa waktu lalu jagat dunia maya sempat dihebohkan dengan iklan kontroversi “Jilbab Halal” yang dipopulerkan oleh salah satu produk jilbab di tanah air. Mudah ditebak, tagline halal ini selanjutnya memicu polemik di kalangan netizen. bahkan timbul wacana harusnya jargon halal ini tidak hanya sebatas kerudung, lebih “kaffah” lagi apabila slogan halal ini juga merambah ke varian busana lain, seperti celana dalam pria hingga pakaian dalam wanita. What the..? Untunglah kemudian wacana jilbab halal ini kemudian mereda seiring permintaan maaf dari pihak produsen jilbab yang konon katanya khilaf dalam memperkirakan respon publik yang ternyata di luar perkiraan.
Namun kita sudahi saja polemik busana halal yang sudah berlalu itu. Sebab sekarang di Aceh, ketika isu halal di nasional perlahan mereda dihempas angin ibukota, wacana Halal di Aceh justru lagi hangat hangatnya. Persis ungkapan dalam bahasa Aceh, “tengoh Su’um Ek Manok”. Adalah Irwandi Yusuf, sang Mantan Gubernur Aceh yang juga mantan provokator propaganda GAM, yang mempopulerkan kembali wacana halal di Aceh melalui Pilkada Halal. Bagaimana konsep pilkada halal ala Irwandi ini?
Disebutkannya, setidaknya ada sepuluh (10) point untuk mencapai pilkada halal tersebut, yaitu tidak membunuh, tidak menculik, tidak menteror, tidak mengintimidasi, tidak memfitnah, tidak menyogok penyelenggara, tidak menyogok rakyat (serangan fajar), tidak sekongkol untuk kecurangan, tidak mencurangi hitungan suara, dan tidak membawa lari dan mengganti kotak suara.
Menjadi pertanyaan, apakah wacana halal ini relevan untuk di hembuskan di nanggroe Aceh keuneubah indatu ini? bukankah Aceh sendiri saat ini sudah jelas kehalalannya. Bagaimana tidak, dari makanan, busana hingga aturan hukum pun di negeri 1001 warung kopi ini sudah dijamin halal karena Aceh sendiri telah lama menjadi daerah bersyariah. Otomatis semua yang ada di sini, di atas kertas, di jamin halal! Sehingga wacana ini terkesan bagai mengajar itik berenang, sia sia. Lagipula mengkampenyakan agar Pilkada serentak tahun 2017 di Aceh berlangsung secara halal seolah Irwandi hendak mengatakan bahwa Pilkada Pilkada sebelum sebelumnyanya di Aceh berlangsung secara tidak halal. Lantas, apakah Pilkada 2006 menjadi halal hanya karena beliau pemenangnya.
Untuk itu, mari kita analisa bersama indikator Pilkada halal ini, untuk melihat sejauh mana “kehalalan” Pilkada di Aceh.
Mimpi Pilkada Halal
Dari sepuluh indikator Pilkada halal yang ditawarkan belio, saya membagi indikator ini kedalam dua varian besar
Pertama, indikator teror. Terdiri varian tidak membunuh, tidak menculik, tidak menteror, tidak mengintimidasi, dan tidak menfitnah.
Lho , bukankah hal tersebut adalah lumrah adanya di negeri damai ini? harusnya beliau membaca data statistik, bahwa pembunuhan, teror dan intimidasi adalah hal yang biasa saja di Aceh jelang momen pesta demokrasi. Tengok saja data kekerasan yang dirilis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mengatakan setidaknya telah terjadi 77 kasus kekerasan dan intimidasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sejak April 2013 hingga April 2014.
Jumlah kekerasan tersebut meningkat luar biasa jika dibanding peristiwa kekerasan dan intimidasi menjelang pelaksanaan pemilihan Gubernur Aceh 2012 lalu yang hanya 22 kasus dan menjelang pemilu 2009, yang hanya 22 kasus. Dari 77 kasus kekerasan yang terjadi, YLBHI merinci pelanggaran pidana berupa pembakaran mobil terjadi lima kasus, intimidasi enam kasus, penembakan empat kasus, pembunuhan dua kasus dan penganiayaan 13 kasus. Selain itu pengrusakan kantor terjadi sebanyak lima kasus, pelemparan mobil satu kasus, penggranatan satu kasus, pelemparan bom dua kasus, penculikan tiga kasus, pembakaran rumah dua kasus, pengrusakan posko partai lima kasus, penembakan posko partai dua kasus dan pembakaran posko partai sebanyak enam kasus (JPPN.com)
Sudahlah, terlalu banyak data dan angka statistik yang menunjukan intensitas kekerasan di Aceh selalu meningkat jelang momen Pemilu. Sehingga tidak terlalu relevan untuk diulas secara rinci satu persatu. Namun yang jelas data telah berbicara, bahwa tensi kekerasan dan teror tiap jelang Pemilu di Aceh yang kerap meningkat adalah ciri khas dari daerah berjuluk Serambi Mekkah ini. Apalagi penculikan dan pembunuhan. Memasukan orang kedalam goni dan membunuh lawan politik dengan peluru, adalah pola umum dan sangat biasa terjadi di daerah yang sedari dulu berkubang dalam lembah konflik ini. tidak ada yang unik disitu. Sudah dari sononya, dari jaman Iskandar Muda hingga Muda Balia, di Aceh pastinya selalu ada darah tumpah begitu memasuki musim peralihan kekuasaan. Konon lagi memang sedari dulu orang Aceh dikenal gemar berkonflik dalam perebutan kekuasaan. Mengutip salah satu petinggi eks kombatan dalam film The Black Road“ureung Aceh dari uroe jeh gemar meuprang. menyoe prang lage pajoh bu leukat, beurangkajan ek.”
Lagipula, dari puluhan kasus yang ada. Paling hanya satu dua yang terungkap. Yang lainwallahu alam, hilang ditelan bumi. Syukurlah masyarakat kita umumnya pelupa. Sehingga tidak ada gelombang protes dalam rangka pengungkapan kasus kekerasan dalam pemilu pemilu sebelumnya. walhasil mayoritas kasus di peti eskan. tidak terungkap hingga tuntas.
Jadi indikator Pilkada halal sebagaimana yang dicetuskan mantan gubernur yang hobi terbang kebulan itu – yang mengharapkan agar Pilkada berlangsung aman, damai, bebas teror- realitanya adalah sesuatu yang absurd. Pilkada Damai hanya ada di panggung ketika sesama kandidat sedang bergandengan tangan dalam acara bertajuk deklarasi damai. Toh, begitu turun panggung deklarasi, di situ jugalah sesama kandidat mulai mencakar muka lawan.
Kedua, indikator kecurangan. Terdiri dari varian tidak menyogok penyelenggara, tidak menyogok rakyat (serangan fajar), tidak sekongkol untuk kecurangan, tidak mencurangi hitungan suara, dan tidak membawa lari dan mengganti kotak suara.
Kembali untuk kesekian kalinya saya dibuat bingung dengan bualan tawaran konsep irwandi ini yang ingin agar tidak terjadi sogok dan suap dalam Pemilu. Harusnya dia paham bahwa penyelenggaraan Pemilu dari jaman Soeharto hingga Joko Widodo selalu tak lepas dari yang namanya serangan fajar dan suap menyuap. Itu tren nasional. Tentunya dalam rangka tetap eksis dan kekinian, Aceh tidak luput dari tren yang satu ini. Yang jelas selama ada pembeli disitu ada penjual. Selama masih ada masyarakat yang mau menjual suaranya dengan harga murah selama itu pula tetap ada kandidat yang memenuhi kebutuhan masyarakat sebagaimana uraian teori hirarki kebutuhan Mashlow.
Akhirul alam, jargon Pilkada halal ini pada akhirnya tidak lebih dari slogan halal sebagaimana iklan jilbab halal yang heboh beberapa waktu lalu. Hanya sekedar memancing situasi dan melihat respon publik. Publik hendaknya tidak perlu panas kuping mendengar seruan ini. masyarakat dan kandidat hendaknya tetap sebagaimana pemilu sebelumnya dalam menyambut momentum perhelatan perebutan kekuasaan kali ini. yakinlah, tidak semua perlu diberi label halal. Karena sesuatu yang memang sudah menjadi identitas suatu daerah, dengan sendirinya sudah menjadi halal adanya.
Lagipula bila ditinjau dari segi anggaran, konsep Pilkada halal ini di khawatirkan akan menguras banyak anggaran, energi dan menguji kesabaran. Bayangkan berapa banyak dana pengamanan dan pengawasan yang harus dikucurkan dalam rangka menjaga agar pilkada tetap halal sebagaimana yang diuraikan dalam indikator diatas. Belum lagi nantinya bisa saja muncul wacana lanjutan berupa sertifikasi kandidat halal. Akan menambah kerumitan dan cost politik yang tidak perlu.
Lebih murah apabila Pilkada dilaksanakan sebagaimana umumnya pemilu sebelumya. Dengan bumbu bumbu konflik sebagaimana biasanya. Terlebih, lazimnya di acara pesta, pecah satu dua piring sudah biasa. Meski Aceh masuk dalam kategori luar biasa dalam hal pecah piring dan korban akibat terkena serpihan piring. Namun harus dilhat dari segi positifnya. Bayangkan tanpa konsep Pilkada halal ini, Kandidat akan lebih leluasa dalam meluapkan emosinya. Masyarakat pun seperti biasa siap menyambut dengan riang recehan dari kantong kandidat yang mengharapkan dukungan suara .
Saya curiga, Jangan jangan Irwandi sedang teunget alias tertidur ketika mendeklarasikan konsep Pilkada halal ini. sehingga menawarkan hal yang tidak biasa dan tidak menunjukan ciri khas keAcehan dari bangsa Aceh, yaitu gemar berperang. Tak pelak mimpi indah Irwandi ini menurut saya harus segera diakhiri. disaat belio mimpi indah tentang Pilkada damai, disaat yang bersamaan juga jutaan rakyat Aceh bersiap dihantui mimpi buruk akan aksi kekerasan yang tidak akan lama lagi tayang di Aceh. SEGERA! [aceh trend]
*) Teuku Harist Muzani adalah pegiat pemilu ,demokrasi dan peminat isu konflik & kebijakan publik. Mendambakan tanah kelahirannya, Aceh, menjadi tempat yang lebih baik bagi kemanusiaan. Benci kapitalisme dan anti konservatisme, berdomisili di Banda Aceh
Pilkada “Halal” Ala Aceh Reviewed by Redaksi Redaksi 11:40:00 Rating: 5

No comments:

All Rights Reserved by Tebar Suara © 2016 - 2017
Thema Design JOJOThemes

Contact Form

Name

Email *

Message *

Sertakan Sumber untuk Setiap Kutipan. Powered by Blogger.