PUSA Legency
Oleh: Bung Alkaff*
Setelah perang, rakyat Aceh pada 1920-an dan 1930-an mengalami tiga tahap perkembangan. Pertama adalah pendirian beberapa dayah oleh ulama-ulama terkemuka, yaitu Teungku Cik di Krueng Kale, Teungku Cik di Lamnyong, Teungku di Tanoh Abei, Teungku Cik di Lam Mirah, Teungku Cik di Reube, dan lain-lain. Kedua adalah perkembangan gerakan madrasah. Dua tahap perkembangan ini berlangsung tanpa arah. Saat ini orang-orang Aceh merasa memerlukan organisasi berskala Aceh. Kebutuhan inilah yang mendorong munculnya tahap perkembangan ketiga, pendirian PUSA pada 1939. Karena itu, pendirian PUSA adalah jawaban terhadap kekosongan kepemimpinan. Maka PUSA mengambil alih kepemimpinan Aceh. Berdasarkan kenyataan bahwa ulama Tiro yang akhirnya memegang hak kepala negara Aceh, kebangkitan PUSA sebagai organisasi ulama telah sekaligus menjadi pewaris langsung dari kekuasaan sultan (Memorandum dari Pengurus Besar PUSA, 1950 dalam Fachry Ali, Suharso Monoarfa dan Bahtiar Effendi, Kalla Perdamaian Aceh, 2008).
Kutipan di atas menurut hemat saya adalah penegasan dari rumusan puncak mengenai usaha penyatuan agama dan politik di Aceh yang sudah berlangsung setelah perang Aceh berakhir di awal abad ke-20. Dan sejauh amatan saya, barangkali konstruksi yang di lakukan PUSA tersebut mengenai kepemimpinan politik ulama, merupakan eksperimen politik pertama di dunia Islam kontemporer.
Logika kesejarahan itu, meminjam istilah Fachry Ali, yang tentu saja berkaitan erat dengan dinamika Aceh saat itu, terutama menjelang kedatangan Jepang, akan keabsahan kepimpinan politik ulama tentu memiliki implikasi yang tidak ringan, karena setelahnya, dalam rentang waktu yang sangat lama, pengaruh agama atas politik di Aceh tidak dapat dibantah sama sekali.
Alasan saya menulis kembali PUSA, karena organisasi keulamaan modern Aceh tersebut, kembali disebut dalam tulisan Khairil Miswar dengan judul Wahabi, Wahabi, Wahabi (Kompasiana/28 Februari 2015). Khairil Miswar, yang berdomisili di Bireun, dan bukankah PUSA memilih Bireun sebagai pusat lembaga pendidikannya dengan mendirikan Normaal Islam di sana ! menulis dengan sangat baik. Bahkan untuk beberapa hal saya menyebutnya berani:
“…bahwa ramai tokoh Aceh masa lalu yang pemahaman keagamaannya serupa dengan pemahaman Salafiyah (Wahabi). Sebut saja Teungku Muhammad Daud Beureu-eh, Tgk Hasballah Indrapuri, Tgk. Hasbi Ash-Shiddiqie dan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Di samping itu, organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang didirikan di Matangglumpangdua, sebagian besar anggotanya juga berpahaman Salafiyah”
Tentu kehadiran PUSA tidak hanya seputar persoalan ibadah belaka, melainan Spirit yang dimiliknya adalah mengenai pandangan keduniaan yang luas tentang dunia Islam, dengan pengecualian hebat tentang Amelz – salah satu murid utama Abu Dawud — yang pernah menulis buku Revolusi Tiongkok., dapat dilihat dengan cara pandang meraka terhadap pergerakan Islam.
Agenda utama PUSA memang yang hendak membentuk wajah masyarakat Aceh yang Islami misalnya dengan ikut memurnikan ajaran Islam dari bid’ah dan takhyaul (Isa Sulaiman, 1997). Namun tidak sebatas itu. Keberpihakan kepada kemodernenan ditampilkan juga dengan membentuk sekolah guru yang maju sekali untuk zamannya, yang dikenal dengan nama Normal Islam Institute (NII). Tidak sekadar perkara bagaimana hendak mencetak kader unggul dengan pengetahuan yang tinggi melainkan juga mendobrak kebekuan melalui gerakan kebudayaan, salah satunya dengan mengadakan pementasan sandiwara sebagai medium penyampaian dakwah (Daud Remantan, 1985)
Konsepsi keislaman PUSA adalah dengan membangun karakter manusia, untuk itulah organisasi tersebut tidak pernah berhenti untuk mencetak manusia Aceh yang handal; Dan dari atas gunung pun, Abu Dawud, sebagai pemimpin Aceh dan PUSA juga berfikir akan hal tersebut. Ali Hasjmy-pun berkata kepada Bung Karno, bagaimana cara membujuk Abu Dawud bersedia turun gunung ‘Tgk Daud Beureuh dari dahulu bercita-cita Aceh memiliki universitas yang besar di Aceh’. Dari kehendak itulah, sehingga berdirilah IAIN Ar raniry, yang kini menjadi UIN, sebagai bagian dari kampus Darussalam.
Lalu dimanakah warisan PUSA untuk pembangunan karakter manusia Aceh dewasa ini? Salah satunya adalah mengenai cara orang Aceh melihat dirinya sendiri. Perkara ini dapat dilacak di awal-awal kebangunan intelektual baru Aceh, yang tergabung dalam PUSA, dimana pasca perang kolonial, mereka aktif bekerja dengan menuliskan kembali tentang jati dirin sebagai orang Aceh. Langkah ini dapat dilihat dari upaya Ismail Yacub yang menarasikan ulang tentang kepahlawanan Tgk Chiek Di Tiro, Ali Hasjmy yang menulis tentang sosok kepemimpinan Iskandar Muda dan A. Gani Mutiara yang menyusun sebuah roman tentang Leburnya Keraton Aceh (Isa Sulaiman, 1997).
Warisan berikutnya tentu saja Syariat Islam. Sepanjang hayat Aceh bersama Indonesia, tema tentang syariat Islam tidak pernah lekang. “Kami hendak membangun Aceh seperti zaman Iskandar Muda” kata Abu Dawud kepada Compton satu waktu. Tentu saja hal tersebut bukan saja dalam pengertian sebuah imperium politik, yang bahkan Lombard-pun menjadi terkagum-kagum akan zaman itu, melainkan juga narasi Islam yang diyakini oleh generasi Abu Dawud sebagai titik pangkal dari kejayaan Aceh di masa lampau tersebut.
Warisan berikutnya tentu saja Syariat Islam. Sepanjang hayat Aceh bersama Indonesia, tema tentang syariat Islam tidak pernah lekang. “Kami hendak membangun Aceh seperti zaman Iskandar Muda” kata Abu Dawud kepada Compton satu waktu. Tentu saja hal tersebut bukan saja dalam pengertian sebuah imperium politik, yang bahkan Lombard-pun menjadi terkagum-kagum akan zaman itu, melainkan juga narasi Islam yang diyakini oleh generasi Abu Dawud sebagai titik pangkal dari kejayaan Aceh di masa lampau tersebut.
Dan melihat Aceh kini, yang terus saja mengadakan perlombaan narasi, maka bangunan yang disusun oleh PUSA menjadi sangat relevan, terutama sekali akan tema tentang hubungan agama dan negara di Aceh dan juga usaha merangkai kembali manusia Aceh yang handal setelah sepuluh tahun berdamai. []
*) Pnulis bung-alkaf.com
PUSA Legency
Reviewed by Redaksi
Redaksi
15:24:00
Rating:
No comments: