Pilkada dan Desentralisasi Politik
![]() |
Moh. Mansyur (Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) |
Oleh: Moh. Mansyur*
Tebar Suara | Seiring dengan
perhelatan Pilkada serentak pada juni 2018 dengan total 171 daerah yang
mengikuti kontestasi elektoral tersebut, maka
hingar bingar pesta demokrasi rakyat itu semakin ramai dibandingkan pada
perhelatan pilkada serentak sebelumnya pada tahun 2017. Apalagi dengan adanya
tiga daerah dengan jumlah pemilih terbesar yang menjadi rebutan partai politik
untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan
Jawa Barat.
Bisa dikatakan
perhelatan kontestasi politik dalam pilkada ini adalah rangkaian panjang
sebelum akhirnya menemui babak terakhir politik (final of politic) pada
Pilpres 2019. Sehingga ajang Pilkada serentak ini menjadi tahap yang juga akan
menentukan bagaimana arus politik kedepannya. Sekalipun ada yang mengatakan
hasil pilkada tidak akan menyebabkan pengaruh besar terhadap polarisasi di
masyarakat nantinya. Tetapi benih-benih polarisasi warisan Pilpres di 2014
sejatinya masih ada sampai sekarang dan diperkirakan akan berlanjut sampai tahapan
Pilpres berikutnya yang akan datang.
Keberadaan
Pilkada serentak ini tentu akan menyedot banyak perhatian publik. Arus
demokratisasi dalam menentukan pemimpin eksekutif seringkali diwarnai dengan
euforia dan luapan antusiasme masyarakat umum. Ramainya kontestasi politik
pada Pilkada serentak ini salah satunya disebabkan banyaknya berbagai golongan
dan kelompok yang ambil bagian, misalnya para calon yang terlibat dalam
perebutan tampuk kekuasaan adalah dari berbagai individu dengan identitas
sosial yang berbeda, baik itu kalangan sipil, militer, polisi dan para ulama.
Heterogenitas
identitas sosial ini telah menyebabkan dinamika
dan polarisasi di akar rumput. Polarisasi dalam menjagokan masing-masing
pasangan calon ini harus dilandaskan atas sikap toleransi dan kedewasaan.
Sehingga dalam perjalanannya tidak akan menyebabkan konflik horizontal di
lapisan masyarakat bawah. Apalagi tahun ini juga akan dimulai tahapan awal
Pilpres, sehingga akan menambah masifnya polarisasi tersebut dengan berbagai
bumbu-bumbu politik tentunya.
Evaluasi Pemimpin Politik
Dalam negara yang menerapkan demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraan
pemerintahan, pemilu merupakan media bagi rakyat untuk menentukan
kedaulatannya. Secara ideal, pemilu atau general election bertujuan agar
terselenggara perubahan kekuasaan pemerintahan secara teratur dan damai sesuai
dengan mekanisme yang dijamin oleh konstitusi.
Dengan demikian, pemilu menjadi prasyarat dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat secara demokratis. Sehingga melalui pemilu sebenarnya rakyat
sebagai pemegang kedaulatan akan: pertama, memperbarui kontrak sosial. Kedua,
memilih pemerintahan baru. Ketiga, menaruh harapan baru dengan adanya
pemerintahan baru.
Setiap periode kepemimpinan suatu rezim pasti ada target yang sudah
tercapai dan ada target yang belum tercapai, sebagaimana yang telah
dikampanyekan sebelumnya. Evaluasi kepemimpinan dalam politik sangat
dibutuhkan, bukan saja karena ini menyangkut kemaslahatan masyarakat yang
dipimpinnya, melainkan agar ada semacam reward dan punishment terhadap
pemimpin yang sudah diberikan kesempatan. Maka kesempatan itu akan dievaluasi
kembali disetiap periodenya, seperti apakah seorang petahana akan diberikan
kesempatan kembali, atau memilih untuk diganti dengan pemimpin yang baru. Tentu
saja evaluasi kinerja ini berdasarkan janji-janji kampanyenya dan hasil dari
kepemimpinannya.
Sebagai suatu bentuk kontrak sosial, pemilu memuat perjanjian antara
rakyat dengan mereka yang duberi mandat untuk melaksanankan kedaulatan rakyat,
kontrak ini dibuat dengan partai pemenang sebagai bukti bahwa program
programnya sesuai dengan aspirasi rakyat. Ketika seseorang memberikan suaranya
pada salah satu partai atau kandidat, maka hakikatnya suara tersebut menjadi
simbol persetujuan rakyat terhadap program-program partai atau kandidat yang
bersangkutan.
Karenanya, transparansi selama proses pemilu menjadi nilai prinsipil yang
tidak mungkin diabaikan. Kejelasan ideologi, tujuan, program, serta cara partai
politik atau kandidat melaksanakan program tersebut untuk mencapai tujuan
menjadi elemen-elemen penting yang harus diketahu selama proses kampanye
berlangsung.
Rotasi kekuasaan yang tercermin dari terbentuknya pemerintahan baru akan
membawa harapan baru bagi rakyat, yakni harapan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan akan lebih berpihak pada rakyat sebagaimana telah disepakati dalam
kontrak sosial. Karena didasari oleh suatu kontrak, maka asumsinya kedua belah
pihak saling percaya sehingga terbentuknya pemerintahan baru ini akan
memperoleh legitimasi politik dalam bentuk kepercayaan sebagian besar rakyat.
Optimalisasi Desentralisasi Politik
Pada dasarnya desentralisasi selalu berhubungan erat dengan otonomi
daerah, pasca reformasi dua istilah ini memang sangat sering kita dengar dalam
ruang-ruang publik. Penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak
organisasi (pemerintah pusat) kepada
jenjang di bawahnya (pemerintah daerah) disebut dengan desentralisasi, meskipun
tidak sepenuhnya pemerintah pusat tidak ambil bagian dalam mengelola pemerintahan
daerah. Implikasi dari adanya asas desentralisasi dalam sistem penyelenggaraan
pemerintah akan melahirkan hak dan
kewajiban yang kita kenal dengan otonomi daerah (untuk sistemnya) dan daerah
otonom (untuk pelaksanya).
Prinsip desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah
mencakup dimensi yang luas, bukan hanya dimensi administratif dan politis, tapi
juga dimensi teritorial dalam bentuk distribusi kewenangan berdasarkan
kewilayahan. Dalam perspektif modern, penataan wilayah bukan hanya proses yang
bersifat teknis-rasional tapi juga menyangkut dinamika sosial-politik yang
sarat konflik di dalamnya.
Adanya momentum pilkada serentak juga akan menjadi babak baru bagaimana
desentralisasi politik ini berjalan. Peran aktif kepala daerah amat menentukan
dalam mengembangkan daerah yang dipimpinnya. Apalagi otoritas kepala daerah
dalam mngelola pemerintahannya memiliki legitimasi yang kuat baik dari segi
politis maupun yuridis. Maka asas desentralisasi ini akan terus menjadi payung
untuk daerah secara otonom mengembangkan dirinya sendiri.
Persoalan-persoalan yang ada di setiap daerah akan terpecahkan ketika
masyarakat mampu menemukan sosok pemimpin yang responsif dan revolusioner.
Pemikiran-pemikiran jernih untuk melihat kedepan sangat terbuka apalagi jika
ditopang oleh stabilitas sosial, politik dan ekonomi.
Akan tetapi dalam beberapa hal desentralisasi dan otonomi daerah ini masih
memiliki lubang-lubang yang harus bisa ditambal dengan cepat agar optimlalisasi
desentralisasi dan otonomi daerah dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Permasalahan yang dimaksud diantaranya Pertama, kondisi aparatur
pemerintahan yang belum sepenuhnya menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Kedua,
semakin terbukanya ruang korupsi dari pusat ke daerah. Ketiga, eksploitasi
pendapatan daerah yang cukup besar diakibatkan beban pengeluaran yang
meningkat. Keempat, kurangnya pemahaman aparatur negara baik itu di
pusat maupun daerah terhadap desentralisasi dan otonomi daerah. Kelima,
penyediaan aturan pelaksanan otonomi daerah yang belum memadai.
Permasalahan-permasalahan fundamental itu harus secepat mungkin
diselesaikan, agar proses desentralisasi dan otonomi daerah ini dapat
terlaksana tanpa tersendat oleh permasalahan apapun. Tentu kita berharap adanya
pilkada serentak ini akan menghasilkan pemimpin daerah yang sesuai dengan
harapan dan kebutuhan rakyat, juga dalam melaksanakan mandatnya dapat diimbangi
dengan akselerasi pembangunan daerah yang merata baik itu yang bersifat fisik
maupun non-fisik.[]
(red/tebarsuara.com)
*)Senator Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Pegiat Literasi Politik dan Hukum.
Pilkada dan Desentralisasi Politik
Reviewed by Redaksi
Redaksi
08:35:00
Rating:

No comments: