Kegelisahan Seorang Rektor dan Bom Atom
Oleh: Muhajir Juli*
Tebar Suara | REKTOR UIN Ar Raniry, Prof Farid Wajdi Ibrahim MA dalam sambutannya mengatakan bahwa 80 persen generasi muda Aceh suka menghabiskan waktu dengan duduk di warung kopi (warkop). Dia mengajak semua generasi Aceh untuk terus meningkatkan pendidikannya setinggi mungkin.
“Di dunia ini hanya di Aceh 80 persen generasi muda duduk di café siang dan malam. Ini musibah yang lebih besar dari bom atom,” katanya di hadapan para lulusan. Karena itu Farid Wajdi mengharapkan para lulusan agar tidak menjadi pengemis intelektual dan menghabiskan waktu sia-sia tanpa berbuat untuk pengembangan diri yang lebih baik dan berguna untuk dirinya dan daerah.
Itu kutipan berita Serambi Indonesia yang linknya sebagai berikut: http://aceh.tribunnews.com/2016/03/22/uin-ar-raniry-wisudakan-967-lulusan
Tiba-tiba kegelisahan seorang profesor dari kampus ternama di Aceh menjadi trending topik di media sosial–mungkin juga di alam nyata–. kalimat sang maha guru yang menyebut bahwa 80 persen generasi muda Aceh duduk di cafe telah menyinggung banyak pihak. kenapa? karena sang UIN Ar-Raniry 1 tersebut telah menggunakan angka persentase yang terlalu besar. Sehingga bukan hanya mereka-mereka yang duduk di warung kopi saja–dengan berbagai aktivitas– menjadi tertuduh, para pemuda yang sedang meuputa kulet prut di dalam rimba untuk berburu jernang pun merasa diikutkan dalam angka yang besar itu.
berbagai kalangan kemudian marah. Walau tidak sampai memaki-maki, namun kalimat-kalimat satir dengan surat terbuka masing-masing di akun sosial pribadi masing-masing pula, cukup membuat sang perofesor merah padam mukanya –bila beliau sempat membacanya–. Namun saya yakin, sebagai seorang akademisi yang sangat sibuk dengan berbagai pengabdian kepada bangsa, beliau tidak sempat membaca itu.
Sebagai muslim yang baik, saya menaruh hormat atas keberanian beliau mengajukan angka yang sangat tinggi –semoga saja beliau punya data kongkrit– terhadap kalimat di paragraf kedua di awal tulisan ini. Saya menduga ini bentuk kegelisahan seorang intelektual yang melihat banyak sekali–tentu dalam pandangan beliau– jamaah warung kopi yang menghabiskan waktunya dari satu warung ke warung lainnya.
Selidik punya selidik, mayoritas mereka yang ada di warung kopi siang dan malam ternyata rata-rata sarjana yang diluluskan oleh berbagai kampus di Aceh. Dengan beragam pofesi. dari jurnalis, koruptor, eksekutor sampai provokator berkumpul di sana dengan berbagai keperluan. Tak kurang juga para teman-teman rektor juga nimbrung di sana, baik atas nama pribadi, staf ahli sampai tim ahli.
Jumlah ini bertambah dengan hadirnya mahasiswa yang kuliah di berbagai kampus di Aceh, dengan berbagai keperluan. Mulai dari main game online, membuat tugas kuliah, sampai merayu si Syerli (bagi laki-laki) dan merayu bang Razi (bagi perempuan). Bila ada satu dua lulusan SD atawa SMP, saya pastikan itu, jikalau bukan anggota dewan yang lulus via paket C, ya buruh bangunan yang menyaru sebagai tim ahli berbagai komisi yang didirikan atas balas jasa “perjuangan”.
Bila dipetakan lebih serius lagi. Maka ada beberapa macam makhluk yang mendiami warung kopi. pertama wartawan. Di sana selain melakukan wawancara, membicarakan tema liputan, menulis dan mengirim berita, atau rehat sejenak setelah lelah meliput. Kelompok ini ada dua macam. Ada wartawan bodrek dan ada wartawan profesional. Karena statusnya wartawan, jelas mereka tidak sedang sekedar nongrong di warung kopi. Mereka bekerja.
Kedua, Lulusan universitas yang mengabungkan diri dalam berbagai tim sukses. Misalnya rakan si polan, teman si polen, sahabat si Hen, kawan si Han. Mereka juga sedang dalam rangka bekerja untuk menyukseskan calonnya masing-masing. kenapa mereka ada di warung kopi? karena ketua timnya sering nongkrong di warung kopi.
Ketiga, akademisi. Ya, sebagai intelektual kampus, mereka tentu jenuh bila selalu dibekap dalam ruang kuliah. warung kopi menjadi ruang lain bagi mereka untuk menyampaikan gagasannya kepada siapapun yang mau mendengar. Termasuk ketika melayani wartawan.
Keempat. Anggota DPRA dan timnya. Di sini mereka duduk-duduk untuk menikmati kopi setelah berjuang di dalam gedung DPR untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kelima Group broker politik. Misalnya toke A, Panglima B, Komandan D dll. Di warung kopi mereka membicarakan cita-cita politik dan siapa yang harus didekati untuk menggolkan proyek.
Keenam para teungku-teungku yang jenuh di lembaga pendidikan agama. Bisa jadi hanya sekedar minum kopi atawa hendak bertemu seseorang di sana.
ketujuh, kepala dinas dan PNS. Jelas kelompok ini bukan pengangguran. Jadi tak masuk radar bapak rektor.
Kedelapan, aktivis LSM. Di warung kopi mereka tentu membicarakan strategi advokasi, kelemahan pemerintah dan rencana tindak lanjut untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh abdi negara.
Kesembilan. Intelijen dari berbagai tingkatan. Juga TNI-Polri yang sekedar rehat minum kopi.
Kesepuluh adalah blogger pemburu google adsanse.
Kesebelah: Pasangan kekasih. Untuk kelompok ini tidak perlu definisi.
Kedua belas adalah mahassiwa aktif di kampus. Baik yang berhimpun dalam paguyuban, personal dan unit kuliah serta lainnya.
ketiga belas adalah saya. Bukan seorang pebisnis. Bukan pula aktivis. Tidak termasuk wartawan bodrek maupun wartawan profesional. Bukan panglima ini itu, bukan PNS, bukan dosen. Bukan intelijen apalagi TNI-Polri. Bukan juga mahasiswa. Saya hanya manusia biasa.
Dari analisa saya setelah membagi penghuni warung kopi dalam berbagai kelompok, akhirnya sebuah ilham muncul bahwa ketakutan seorang Farid Wajdi sebagai sebuah musibah yang melebihi bom atom –bukan bom plastik ya– tidak perlu terjadi.
Namun yang namanya intelektual, gelisah melihat kondisi bangsa ini, sudah sunnatullah. benar memang, di Aceh banyak sekali warung kopi dan hampir semuanya penuh dengan manusa. Apalagi di kota Banda Aceh. Namun mungkin satu yang luput dari perhatian pak rektor, bahwa jikalau mereka –anaka-naka muda–tidak lagi di warung kopi? Mereka hendak kemana setelah lulus kuliah?
Pulang kampung? Apa yang bisa mereka kerjakan di kampung? Atau gini saja. Misalkan pak rektor berkata kepada saya.
“Muhajir Juli, sekarang engkau pulang kampung saja. Jangan lagi berada di kota Banda Aceh. Jangan nongkrong di warung kopi. Kerja-kerja. Karena kehadiranmu di warung kopi lebih berbahaya dari bom atom,”
“Pak rektor. Saya harus pulang ke mana? Pulang ke rumah? Ya setiap akhir pekan saya pulang untuk menemui anak, istri dan orang tua saya. Asal bapak tahu ya, sebelum hijrah ke Banda Aceh, dulu saya punya lahan kebun. Namun kemudian sebuah perusahaan masuk dan memaksa orang tua saya menjual lahan itu dengan harga murah. kami sempat bertahan sekian waktu, hingga akhirnya kebun kami dikepung. Jalan ditutup dan akhirnya kami mengalah. Setelah tidak tahu lagi harus berbuat apa? saya–atas pertolongan seorang teman di bawa ke Banda Aceh.
Pak rektor yang saya muliakan. Hutan-hutan kami sudah dimiliki oleh perusahaan sialan yang diberikan kuasa oleh penguasa gila. Saya dan juga ribuan pemuda lainnya tidak punya lahan. Itu belum ditambah dengan fakta bahwa setelah kuliah, ijazah tak tahu harus dibawa kemana.
Apa yang bapak sampaikan ada benarnya. Namun sebagai seorang akademisi, bapak sudah berlaku sangat kejam. Ah sudahlah. Saya mohon maaf atas ketidaknyaman ini. sama seperti kami yang sudah memaafkan pernyataan bapak yang menyodok ulu hati kami jamaah warung kopi,” (AcehTrend.co)
*)Pemimpin Redaksi aceHTrend.Co, blogger, penulis merdeka yang menulis apa saja dengan niat menegakkan amar makruf nahi mungkar.
Kegelisahan Seorang Rektor dan Bom Atom
Reviewed by Redaksi
Redaksi
11:56:00
Rating:
No comments: