Top Ad unit 728 × 90


Breaking News

recent

Masa Depan Al-Qaidah & ISIS

Jihadis

Daya Tahan dan Kelemahan Masing-Masing

Tebar Suara | Dua organisasi jihadis al-Qaidah & ISIS yang tampil dominan di berbagai wilayah di dunia Islam, dianggap oleh sejumlah pihak bahwa mereka sama-sama telah mengambil keuntungan dari situasi kekacauan di bidang sosial, politik, dan keamanan akibat gerakan revolusi rakyat Arab-Springs, namun dengan mengambil jalan atau garis perjuangan yang berbeda. Akankah kedua strategi yang berbeda itu akan bisa saling bertemu, ataukah sebaliknya akan tetap terus bergesekan dan saling bersaing? Strategi mana di antara keduanya yang lebih baik saat ini? Dan juga, perubahan politik apa yang kira-kira bakal terjadi dalam tahun-tahun mendatang yang akan mempengaruhi peta persaingan mereka dalam kepemimpinan jihad global?
Seorang professor ilmu politik di Haverford College sekaligus peneliti senior di Institut Riset Kebijakan Luar Negeri (FPRI), Barak Mendelsohn mengatakan bahwa ketika al-Qaidah menyerang daratan Amerika Serikat pada peristiwa 11/9, mereka tidak mempersiapkan diri untuk  menghadapi konskuensinya. Di sana ada jarak atau kesenjangan yang cukup jauh antara kemampuan al-Qaidah dengan tujuan strategis mereka yaitu menjatuhkan AS dan membawa perubahan politik di Timur Tengah. Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, Usamah Bin Ladin secara mudah dan tidak realistis berasumsi bahwa serangan terhadap AS akan mendorong masyarakat Muslim secara umum dan seluruh kekuatan Islam bersenjata lainnya bergabung dengan visi perjuangan kelompoknya. Jatuhnya pemerintahan Taliban pasca invasi AS tahun 2001, dan menyusutnya kekuatan di barisan al-Qaidah tidak lama setelah itu dengan segera membuktikan bahwa asumsi Bin Ladin salah.
Namun kemudian setelah empat belas tahun berlalu ternyata al-Qaidah masih tetap eksis dan semakin kuat. Meskipun visi politik mereka tidak realistis menurut mayoritas Muslim kebanyakan, dan juga sempat mengalami penyusutan kekuatan secara signifikan, terlebih dengan kemunculan ISIS yang menekan dan mengancam ketahanan mereka, ternyata mereka (al-Qaidah) semakin berkembang dengan eksisnya cabang-cabang baru di Afrika Utara, Semenanjung Arabia, Tanah Syam, Asia Tengah, Asia Selatan & anak benua India, dan di Tanduk Afrika.
Al-Qaidah, Sempat Jatuh Namun Tetap Eksis
Dua faktor yang bisa menjelaskan mengapa al-Qaida tetap mampu bertahan adalah, perubahan lingkungan akibat revolusi Arab dan kemampuan kelompok tersebut dalam memanfaatkan berbagai peluang baru sebagai hasil pembelajaran dari kesalahan di masa lalu. Kebangkitan atau revolusi Arab memang pada mulanya melemahkan klaim awal al-Qaidah bahwa perubahan di negeri-negeri Muslim tidak bisa dilakukan dengan cara damai, atau tidak bisa dilakukan tanpa dengan melemahkan superpower AS terlebih dahulu. Meski demikian, kebijakan represif  tangan besi para rezim diktator terhadap rakyat mereka sendiri di Suriah, Libya, dan beberapa tempat lainnya telah menciptakan banyak peluang baru bagi al-Qaidah untuk menunjukkan relevansinya. Lebih jauh, banyaknya masyarakat yang terlibat dalam proses untuk menentukan masa depan mereka memberi sebuah peluang baru bagi al-Qaidah untuk melakukan rekrutmen.
Tetapi kondisi yang menguntungkan itu tidak cukup membantu al-Qaidah untuk bisa bertahan tanpa adanya perubahan-perubahan yang dilakukan oleh al-Qaidah sendiri. Belajar dari pengalaman pahit mereka di Iraq, al-Qaidah telah memilih dengan mengambil sejumlah langkah moderat. Mereka menanam agen-agen mereka di berbagai gerakan-gerakan perlawanan berbasis rakyat  di Suriah dan Yaman, kemudian mengambil peran yang konstruktif, sangat memperhatikan kebutuhan masyarakat, serta kooperatif dengan berbagai lapisan kelompok-kelompok pejuang lainnya. Setelah berhasil menjadi bagian dari sebuah gerakan yang lebih luas, afiliasi-afiliasi al-Qaidah di negara-negara itu juga berhasil membangun sistem & mekanisme pertahanan dari ancaman musuh-musuh eksternal karena enggan menghadapi aliansi baru kelompok tersebut.
Saat ini ancaman terbesar al-Qaidah bukan Amerika Serikat atau rezim-rezim negara Arab, melainkan sebuah kelompok bekas afiliasi mereka di Iraq, yaitu ISIS. Kelompok al-Baghdadi ini berusaha menekan dan mengintimidasi para anggota/pendukung al-Qaidah untuk membelot. Sejauh ini usaha tersebut telah gagal, sehingga ISIS kemudian mencoba membuat perpecahan di internal cabang-cabang al-Qaidah serta membujuk para anggota al-Qaidah di cabang-cabang untuk menyeberang ke “khilafah” al-Baghdadi. Seandainya al-Qaidah mampu mengatasi masalah yang datang dari ISIS ini, dalam jangka panjang mereka masih harus menghadapi masalah fundamental yang tidak mungkin berubah, yaitu bahwa, meskipun telah menunjukkan sejumlah langkah moderat, proyek al-Qaidah masih dianggap terlalu ekstrim bagi mayoritas Muslim.
ISIS, Sempat Muncul Namun Tidak Akan Selamanya
Di tengah kebijakan AS mengurangi operasi militer untuk penghematan anggaran, dan di saat rezim-rezim di Timur Tengah sedang melemah, kelompok Negara Islam (ISIS) tampil dominan dalam situasi & kondisi yang lebih mendukung dan dengan menerapkan strategi yang berbeda. Daripada harus terlebih dahulu menghabiskan energi dengan memerangi Amerika, ISIS memilih langsung mendirikan Khilafah di tengah kehancuran dan disintegrasi negara-negara di Timur Tengah. Mereka terus berkembang di tengah situasi kekacauan/chaos akibat pemberontakan di negara-negara Arab. Namun sebaliknya, al-Qaidah tampil dengan memberikan perlindungan kepada kaum Muslim (Sunni) yang tertindas dengan menyampaikan pesan-pesan positif  berupa harapan, kepercayaan, dan harga diri. Sementara ISIS tidak hanya memberdayakan para pejuang Muslim membela diri dari serangan-serangan terhadap kehidupan, harta, dan kehormatan mereka, bahkan mereka menawarkan kepada para pendukung mereka kesempatan bersejarah dengan mendirikan pemerintahan impian dan membangun kembali imperium Islam atau Khilafah Islamiyah.
Para pemimpin ISIS berspekulasi dengan mengambil resiko antara keterampilan perang mereka, kelemahan lawan-lawan mereka, dan keengganan Amerika berperang lagi secara langsung di wilayah lain di Timur Tengah, bahwa hal itu akan memungkinkan kelompok mereka menaklukkan suatu wilayah dan mendirikan pemerintahan di atasnya. Spekulasi itu akhirnya terbayar. ISIS bukan hanya berhasil mengontrol wilayah yang sangat luas, termasuk kota-kota seperti Raqqah dan Mosul. Lambannya respon negara-negara terhadap munculnya kelompok al-Baghdadi ini,  memungkinkan mesin-mesin propaganda ISIS memiliki kesempatan membangun narasi bahwa perjuangan mereka tak terkalahkan dan merupakan suatu keniscayaan. Efeknya, dapat meningkatkan daya tarik bagi para rekrutan baru serta memfasilitasi ekspansi lebih jauh.
Dalam perkembangannya, prospek keberhasilan ISIS berjalan lambat. Kesalahan mereka dalam berhitung telah mengancam segala keberhasilan yang sudah mereka raih dan berpeluang membalik keadaan seperti semula. Langkah-langkah mereka yang prematur dan tidak perlu telah memprovokasi intervensi Amerika, melalui berbagai kampanye militer dan operasi bombardemen lewat udara , serta munculnya para pejuang Kurdi sebagai proksi Amerika di darat telah menguras kemampuan ISIS untuk berekspansi, (bahkan) termasuk untuk meraih kembali sejumlah capaian mereka yang hilang.
ISIS mampu melakukan konsolidasi kekhilafahannya di wilayah yang saat ini mereka kuasai, tetapi keangkuhan dan semangat mesianis mereka menjadikan mereka bahkan tidak mampu meraih tujuan-tujuan terbatas tersebut. Organisasi al-Baghdadi ini bertekad melakukan ekspansi militer, sekaligus atau bersamaan dengan proyek mendirikan sebuah negara. Tekad atau komitmen yang kaku untuk meraih dua tujuan yang saling tidak kompatibel ini barangkali merupakan kelemahan terbesar bagi ISIS.
Bukannya membuat sebuah rencana ekonomi yang nantinya akan bisa menjamin keberlangsungan kekhilafahan, ISIS malah mengaitkan kelangsungan ekonomi mereka dengan ekspansi militer. Saat ini, ISIS mengandalkan pajak dari penduduk yang tinggal di wilayahnya, dan dari penjualan minyak untuk men-support ekonominya yang sudah tidak menentu. Namun sumber-sumber ekonomi tadi tidak lagi mampu menopang sebuah negara, terutama saat terjadi pertempuran di berbagai front dengan menghadapi banyak musuh secara bersamaan. Ironisnya, bukannya melunakkan aspirasi mereka, ISIS justru melihat penaklukan sebagai cara satu-satunya mempromosikan tujuan-tujuan didirikannya negara. Rencana membangun kekuatan ekonomi ISIS berbasis pada ekstraksi sumber daya melalui ekspansi militer. Sementara rencana semacam ini bisa berjalan dengan baik pada mulanya, yaitu ketika musuh-musuh ISIS lemah, namun kini tidak lagi menjadi sebuah solusi yang efektif pada saat “khilafah” ISIS tidak lagi mampu berekspansi secara cepat untuk memenuhi kebutuhannya. Konskuensinya, strategi ini justru melemahkan ISIS, bukan memperkuat.
Namun banyak pihak masih khawatir, meskipun seandainya ISIS gagal meraih tujuan jangka panjang mereka tentang eksistensi sebuah negara, kelompok al-Baghdadi ini masih memiliki banyak waktu untuk melampiaskan kekerasan di negara-negara tetangga sekitar. Dan meskipun kemampuan mereka untuk menyelenggarakan pemerintahan menurun, namun serangan-serangan seperti yang terjadi di Paris, Beirut, dan Sinai menunjukkan bahwa ke depan ISIS masih memiliki kemampuan untuk melakukan serangan-serangan jangka panjang.

Persepsi Ketidakpastian Analis Barat

Dua organisasi jihadis al-Qaidah & ISIS yang tampil dominan di berbagai wilayah di dunia Islam, dianggap oleh sejumlah pihak bahwa mereka sama-sama telah mengambil keuntungan dari situasi kekacauan di bidang sosial, politik, dan keamanan akibat gerakan revolusi rakyat Arab-Springs, namun dengan mengambil jalan atau garis perjuangan yang berbeda. Akankah kedua strategi yang berbeda itu akan bisa saling bertemu, ataukah sebaliknya akan tetap terus bergesekan dan saling bersaing? Strategi mana di antara keduanya yang lebih baik saat ini? Dan juga, perubahan politik apa yang kira-kira bakal terjadi dalam tahun-tahun mendatang yang akan mempengaruhi peta persaingan mereka dalam kepemimpinan jihad global?
Seorang peneliti pada Institut Riset Kebijakan Luar Negeri (FPRI), Clint Watts menyarankan untuk menghindari asumsi-asumsi keliru yang selama ini menyebabkan kesalahan dalam memprediksi terkait kebijakan kontra-terorisme yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebelumnya Clint Watts juga pernah berdinas sebagai perwira pasukan infantri AS, agen khusus FBI pada unit gabungan anti-terorisme (JTTF), juga seorang executive officer di pusat anti-terorisme di West Point. Sayangnya, berbagai pandangan Watts berujung pada perspektif pragmatisme yang cenderung melihat sepak terjang para jihadis dari sudut pandang kepentingan jangka pendek dengan mengabaikan aspek ideologi. Padahal ideologi sendiri merupakan aspek inti, paling tidak bagi mayoritas “konstituen” jihadis dan para pemainnya baik yang memilih jalan kolektif maupun the lone-fighter.
Clint Watts mengatakan, dua tahun yang lalu prediksi kontraterorisme berfokus pada kebangkitan kembali al-Qaidah. Perdebatan mengenahi apakah al-Qaidah kembali menjadi pemenang dalam perang terhadap teror kembali mencuat seminggu sebelum ISIS menyerbu kota Mosul. Pada saat perdebatan mengenahi al-Qaidah di Washington mulai mereda pada tahun 2013, organisasi al-Qaidah di bawah pimpinan Dr. Aiman adz-Dzawahiri mengalami masalah penentangan internal yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari bekas organisasi afiliasi mereka, yaitu al-Qaidah di Iraq (AQI). Sejauh ini langkah kontraterorisme Barat yang diprediksi dua tahun yang lalu terbukti melenceng. Selanjutnya apakah kita juga harus mencoba antisipasi apa yang akan terjadi dua tahun ke depan terkait dengan al-Qaidah & ISIS?
Daripada membuat prakiraan/prediksi tentang bagaimana puluhan kelompok ekstrimis yang beroperasi di empat benua akan melakukan aksi mereka di masa depan, para analis justru lebih tertarik untuk meninjau kembali sejumlah asumsi sebelumnya yang salah tentang fenomena strategis yang ditandai dengan munculnya kelompok ISIS. Berikut ini sejumlah wawasan  mengenahi perubahan & dinamika di kalangan jihadis selama periode satu dasawarsa sebelumnya yang harus dipertimbangkan ketika akan membuat prediksi satu dekade ke depan mengenahi masa depan al-Qaidah dan ISIS.
Loyalitas adalah sementara, (sementara) kepentingan pribadi bersifat selamanya. Para analis yang tidak menduga akan kemunculan ISIS sebelumnya berasumsi bahwa mereka yang telah bersumpah setia kepada al-Qaidah akan tetap setia selamanya. Tetapi loyalitas bisa berubah meski sudah diikat dengan sumpah. Abu Bakar al-Baghdadi dan para pemimpin ISIS lainnya menggunakan istilah-istilah teknis (technicalities) untuk membatalkan komitmen mereka kepada al-Qaidah. Boko Haram dengan begitu cepat keluar dari al-Qaidah dan segera mewujudkan mimpinya menjadi ISIS.
Pendek kata, sumpah setia di kalangan kelompok jihadis sebaiknya tidak dilihat sebagai sesuatu yang mengikat atau bersifat permanen, tetapi sumpah setia mereka itu sifatnya sementara. Ketika sebuah kelompok jihadis terlihat/dianggap melemah atau terjadi pergantian pemimpin, kesetiaan/sumpah akan dengan cepat berubah/beralih ke kelompok jihadis atau ke apa saja yang terbukti paling menguntungkan bagi kelompok dan pemimpinnya. Prestis, uang, jumlah pengikut/anggota, dan hal-hal semacam itulah yang mempengaruhi sumpah/kesetiaan, bukan ideologi.
Al-Qaidah dan ISIS tidak hanya berfikir semata-semata untuk menghancurkan/menyerang AS dan sekutu-sekutu Barat lainnya. Meskipun kelompok-kelompok jihad global selalu menyerukan aksi serangan terhadap Barat, mereka ternyata juga tidak selalu melakukan aksi untuk mewujudkannya. Bisa jadi karena mereka tidak mampu, atau juga karena ada prioritas lain, misalnya operasi serangan terhadap musuh yang lebih dekat. Jadi, propaganda para jihadis itu sendiri tidak cukup dijadikan acuan tunggal tentang bagaimana dan apa rencana mereka ke depan.
Sebagai contoh, pemimpin al-Qaidah Dr. Aiman adz-Dzawahiri pernah secara terbuka menyerukan kelompok-kelompok afiliasi al-Qaidah untuk melancarkan serangan-serangan terhadap Barat. Tetapi, secara diam-diam ia menginstruksikan cabang organisasinya di Suriah untuk menahan diri. Dan menurut sebagian besar catatan, ISIS lebih banyak berfokus pada serangan-serangan terhadap musuh dekatnya di Timur Tengah daripada musuh-musuh mereka yang berada jauh di seberang lautan, meski berulangkali bersumpah akan menyerang Amerika. Kedua kelompok jihadis tersebut akan memanfaatkan peluang apa saja yang memudahkan mereka untuk menyerang AS. Namun demikian, terus membatasi prediksi masa depan dengan hanya menggunakan kacamata Amerika-sentris saja akan menyebabkan analisa yang keliru serta mengundang pertanyaan.
Al-Qaidah dan ISIS tidak mengendalikan semua aksi organisasi-organisasi atau kelompok afiliasi mereka. Sejumlah headline berita sepintas akan menyebabkan para pembaca meyakini bahwa al-Qaidah dan ISIS memberikan komando serta mengendalikan jaringan yang sangat luas yang beroperasi di bawah satu kesatuan rencana strategis. Tetapi setahun yang lalu, serangan terhadap markas Charlie Hebdo di Paris mengungkap bahwa secara mengejutkan AQAP (al-Qaida in the Arabian Peninsula ) bertanggung jawab penuh, meskipun salah satu penyerang secara eksplisit menyatakan bahwa mereka dikirim oleh AQAP. Demikian juga dengan gelombang serangan yang dilancarkan oleh AQIM (Al-Qaeda in the Islamic Maghreb) di Mali dan Burkina Faso yang nampaknya juga dilancarkan secara independen dari pengaruh langsung kepemimpinan pusat al-Qaidah. Dalam kasus ISIS, secara jelas kelompok eks al-Qaidah ini memobilisasi jaringannya dan menginspirasi yang lain untuk melakukan serangan-serangan internasional berskala luas. Kepemimpinan pusat kelompok ini di Iraq dan Suriah ternyata hanya mengendalikan secara langsung beberapa atau sedikit dari rencana-rencana tersebut.
Menurut pandangan Clint Watts, belum pernah terjadi sejak kelahirannya, al-Qaidah mendorong organisasi-organisasi dan jaringan afiliasinya beroperasi sedemikian independen. Sejak kematian Usamah Bin Ladin, kelompok-kelompok afiliasi al-Qaidah di Yaman, Afrika Barat & Utara, Somalia, dan Suriah semuanya secara agresif ingin mendirikan negara, sebuah strategi yang Bin ladin sendiri tidak menyarankannya. Pemilihan target dan langkah cepat dalam perencanaan serangan oleh para militan kedua jaringan tersebut menunjukkan dinamika lokal lebih berpengaruh daripada kohesifitas kelompok maupun grand strategi global organisasi induk dalam mengarahkan jihad hari ini.  Oleh karena itu, untuk secara akurat mengantisipasi kompetisi dan peluang kerjasama di antara berbagai kelompok-kelompok afiliasi jihadis secara luas dengan sumpah setia dan loyalitas mereka yang tumpang tindih terhadap kedua kelompok tersebut – ISIS & al-Qaidah – , diperlukan penelitian oleh tim analis dengan beragam keahlian dan multi-disiplin, bukan dilakukan oleh hanya seorang ahli saja.
Kedua organisasi jihadis (al-Qaidah & ISIS) dan afiliasi-afiliasinya akan semakin tergoda untuk beraliansi dengan para sponsor negara, dan pemain-pemain baik non-jihadi maupun non-negara lainnya. Semakin banyak uang yang dimiliki oleh al-Qaidah maupun ISIS, semakin besar pula pengaruh mereka terhadap kelompok-kelompok afiliasi. Namun ketika sumber keuangan mulai mengering – seperti dalam kasus al-Qaidah dan juga nantinya akan terjadi pada ISIS – kelompok-kelompok afiliasi tersebut akan berpaling dan mencari yang lain yang bisa menopang keberlangsungan mereka. Kelompok-kelompok afiliasi yang berada di tempat yang jauh akan mencari induk yang baru atau bahkan akan membuat organisasi yang baru.
Dan pasti, beberapa kelompok afiliasi akan berpaling kepada negara-negara yang bersedia mendanai mereka dalam perang proksi melawan musuh bersama mereka. Iran, meskipun di Suriah mereka memerangi ISIS, kemungkinan tergoda untuk mendukung aksi terorisme ISIS di dalam wilayah perbatasan Arab Saudi. Arab Saudi juga bisa saja dengan mudah memanfaatkan AQAP sebagai sekutu melawan Syiah Hutsi dukungan Iran di Yaman. Negara-negara Afrika barangkali akan lebih mudah dan memilih membayar kelompok-kelompok jihadis yang mengancam negara-negara mereka daripada menghadapi serangan-serangan yang menyebabkan ketidakstabilan di kota-kota mereka. Jika uang sudah menjadi barang langka, kelompok-kelompok afiliasi al-Qaidah maupun ISIS tidak lagi ada hambatan berarti untuk menerima uang dari musuh-musuh ideologis mereka terutama saat memiliki kepentingan bersama dalam jangka pendek.
Dalam resumenya, jika Barat dan sekutu-sekutunya ingin memprediksi masa depan ke mana arah al-Qaidah dan ISIS, Clint Watts merekomendasikan untuk menghindari asumsi-asumsi yang salah seperti di atas. Sebaliknya, ia memberi tiga masukan sebagai berikut:
  1. Pertama, melihat kepada prediksi terorisme regional yang memperjelas nuansa lokal di mana hal itu sering terabaikan dalam menilai al-Qaidah dan ISIS secara keseluruhan. Tergantung pada wilayah tersebut, baik al-Qaidah maupun ISIS barangkali akan mengambil peran dominan. Dan naiknya mereka akan lebih banyak ditopang oleh pasukan lokal daripada pasukan global.
  2. Kedua, perhatikan migrasi para pejuang asing yang masih ada di saat ISIS mengalami kemunduran di Iraq dan Suriah. Pergerakan dan tempat-tempat mereka mencari perlindungan akan menjadi sumber masalah di masa depan.
  3. Ketiga, jangan pernah mencoba mengantisipasi terlalu jauh ke depan. Sejak kematian Usamah Bin Ladin, landscape teroris menjadi sedemikian menyebar dan membaur, ingat bahwa setengah lusin kelompok-kelompok afiliasi telah bangkit dan jatuh. Dan juga, revolusi Arab Springs telah menjauh dari harapan besar akan demokrasi ke arah situasi yang lebih buruk & ketidakpastian yang berlarut-larut di seluruh Timur Tengah.
Gambaran terorisme hari ini masih sedemikian rumit/kompleks, cepat berubah, dan karut-marut. Tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa esok semua itu akan berubah. (Kiblat.Net)
Masa Depan Al-Qaidah & ISIS Reviewed by Redaksi Redaksi 16:02:00 Rating: 5

No comments:

All Rights Reserved by Tebar Suara © 2016 - 2017
Thema Design JOJOThemes

Contact Form

Name

Email *

Message *

Sertakan Sumber untuk Setiap Kutipan. Powered by Blogger.