Kejamnya Ibukota Mengusir Anaknya Sendiri
Oleh: Gilang Guntur*
Tebar Suara | Tujuh bulan terakhir ini, sang Gubernur membuat beberapa kebijakan yang membuat hati teriris penuh duka. Kampung Pulo, Kalijodo, dan Kampung Luar Batang menjadi saksi bisu, betapa pilunya para pribumi terzalimi oleh arogansi aparat yang bertindak semena-mena. Berpadu menjadi sebuah kisah tentang ibukota yang begitu kejam.
Sikap ganas yang ditampilkan oleh sang Gubernur, memicu sebuah polemik tak berkesudahan di ibu kota. Para serdadu Gubernur bertindak begitu represif tanpa ada dialog yang baik terlebih dahulu, seakan Ibukota mengusir anaknya sendiri.
Agustus 2015, Kampung Pulo. Eskavator itu dengan gagahnya mulai meruntuhkan bangunan-bangunan. Warga pun marah karena merasa tidak diberi kepastian kelanjutan tempat tinggal. Kericuhan pun tak terhindarkan. Banyak korban terluka dan mendadak kehilangan tempat tinggal. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Terluka dan kehilangan tempat berteduh.
Februari 2016, Kalijodo menjadi sasaran berikutnya. Pertentangan dimana-mana. Sekali lagi keangkuhan dipertontonkan di layar kaca berhari-hari.
April 2016, Luar Batang. Malam hari yang seharusnya menjadi waktu senda gurau dengan keluarga sambil beristirahat. Namun, apadaya serdadu sang gubernur menyapa dengan ganas. Menggusur kawasan tersebut, lagi-lagi tanpa berdialog langsung melululantahkan bangunan yana ada.
Saya mengutip dalam tulisan Andre Vitchek -“Kota Fasis Yang Sempurna”- Semua bentuk penggusuran ini dilandasi atas nama lahan negara dan dalih kawasan hijau. Mereka yang terdampak
Sikap ganas yang ditampilkan oleh sang Gubernur, memicu sebuah polemik tak berkesudahan di ibu kota. Para serdadu Gubernur bertindak begitu represif tanpa ada dialog yang baik terlebih dahulu, seakan Ibukota mengusir anaknya sendiri.
![]() |
Ilutrasi : tolongshare.com |
Agustus 2015, Kampung Pulo. Eskavator itu dengan gagahnya mulai meruntuhkan bangunan-bangunan. Warga pun marah karena merasa tidak diberi kepastian kelanjutan tempat tinggal. Kericuhan pun tak terhindarkan. Banyak korban terluka dan mendadak kehilangan tempat tinggal. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Terluka dan kehilangan tempat berteduh.
Februari 2016, Kalijodo menjadi sasaran berikutnya. Pertentangan dimana-mana. Sekali lagi keangkuhan dipertontonkan di layar kaca berhari-hari.
April 2016, Luar Batang. Malam hari yang seharusnya menjadi waktu senda gurau dengan keluarga sambil beristirahat. Namun, apadaya serdadu sang gubernur menyapa dengan ganas. Menggusur kawasan tersebut, lagi-lagi tanpa berdialog langsung melululantahkan bangunan yana ada.
Saya mengutip dalam tulisan Andre Vitchek -“Kota Fasis Yang Sempurna”- Semua bentuk penggusuran ini dilandasi atas nama lahan negara dan dalih kawasan hijau. Mereka yang terdampak
tempat tinggalnya harus angkat kaki. Dan kita sebagai orang awam diminta harus percaya demi menutupi bahwa hal ini merupakan festival kesewenang-wenangan di Ibukota ini.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam pernyataannya mengungkap terdapat 3433 KK dan 433 unit usaha di 30 titik di Jakarta yang menjadi korban pergusuran paksa sepanjang bulan Januari hingga Agustus 2015. Jumlah yang fantastis, karena menjadi angka pergusuran paksa yang tertinggi dalam sejarah Ibukota. Ditambah dalam 2016 ini terdapat beberapa kasus penggusuran yang lebih besar lagi.
Memang, Pemprov DKI pasti memiliki alasan, dan Pemprov DKI memiliki rencana dalam pembangunan di daerah yang menjadi proyek gusuran. Dari ruang terbuka hijau sampai masalah drainase air untuk mengatasi banjir yang kerap melanda jantung negara.
Namun, jika kita cermati. Sesungguhnya penggusuran yang dilakukan oleh pemprov DKI bukan menjadi solusi konkret dalam upaya menangani banjir. Pemprov DKI lupa bahwa penyebab banjir di ibukota karena buruknya sistem drainase dan amblasnya tanah yang terjadi tiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (14/02/2016), masih terdapat 17 titik genangan di Jakarta. Para ahli berkata penggusuran warga di Kampung Pulo contohnya justru tidak memiliki relevansinya terhadap banjir. Hemat saya, andaikan Pemprov DKI mau menyelesaikan masalah abrasi tanah dan drainase di ibukota dan bukan sekedar berani menggusur pemukiman warga dengan menegedepankan unsur paksaan dengan kekerasan ketimbang dialog.
Tapi ada hal yang patut Kita sayangkan. Bahwasanya Pemprov DKI seperti sedang bermain curang. Betapa banyak kawasan elit dengan gedung parlentenya berdiri megah di daerah yang merupakan kawasan resapan air. Seakan Pemprov DKI menutup mata tidak menyadari hal itu.
Apakah sang Gubernur hari ini beserta para serdadunya berani menggusur kawasan elit tersebut ?Mall atau bahkan Rumah Pak Ahok sendiri yang konon berada di kawasan perumahan elit yang peruntukannya melanggar aturan. Dan bukan hanya bisa menggusur kawasan warga menengah ke bawah yang butuh kepastian tempat tinggal. Namun, pernahkah kita melihat di layar berita tersurat Pemprov DKI melakukan penggusuran di kawasan elit tersebut?
Sikap tidak adil Pemprov DKI ini yang menjadi masalah. Ketidak-adilan yang sering dilakukan kepada warga miskin. Sikap membohongi masyarakat yang tinggal di kawasan yang digusur itupun sering dilakukan. Dari wacana gubernur sebelumnya yang akan melegalkan kawasan-kawasan yang ilegal sampai sikap bohong Gubernur saat ini yang tidak akan menggusur sebelum para penghuni diberikan tempat tinggal pengganti.
Mengatasi banjir memanglah tugas berat namun harus menjadi perhatian yang serius. Solusi yang diberikan jugalah harus memiliki nilai keadilan dan ketentraman. Dengan penekanan dialog terbuka dan persuasif agar tidak memicunya kericuhan sesama anak bangsa. (Mahasiswanews.com)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam pernyataannya mengungkap terdapat 3433 KK dan 433 unit usaha di 30 titik di Jakarta yang menjadi korban pergusuran paksa sepanjang bulan Januari hingga Agustus 2015. Jumlah yang fantastis, karena menjadi angka pergusuran paksa yang tertinggi dalam sejarah Ibukota. Ditambah dalam 2016 ini terdapat beberapa kasus penggusuran yang lebih besar lagi.
Memang, Pemprov DKI pasti memiliki alasan, dan Pemprov DKI memiliki rencana dalam pembangunan di daerah yang menjadi proyek gusuran. Dari ruang terbuka hijau sampai masalah drainase air untuk mengatasi banjir yang kerap melanda jantung negara.
Namun, jika kita cermati. Sesungguhnya penggusuran yang dilakukan oleh pemprov DKI bukan menjadi solusi konkret dalam upaya menangani banjir. Pemprov DKI lupa bahwa penyebab banjir di ibukota karena buruknya sistem drainase dan amblasnya tanah yang terjadi tiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (14/02/2016), masih terdapat 17 titik genangan di Jakarta. Para ahli berkata penggusuran warga di Kampung Pulo contohnya justru tidak memiliki relevansinya terhadap banjir. Hemat saya, andaikan Pemprov DKI mau menyelesaikan masalah abrasi tanah dan drainase di ibukota dan bukan sekedar berani menggusur pemukiman warga dengan menegedepankan unsur paksaan dengan kekerasan ketimbang dialog.
Tapi ada hal yang patut Kita sayangkan. Bahwasanya Pemprov DKI seperti sedang bermain curang. Betapa banyak kawasan elit dengan gedung parlentenya berdiri megah di daerah yang merupakan kawasan resapan air. Seakan Pemprov DKI menutup mata tidak menyadari hal itu.
Apakah sang Gubernur hari ini beserta para serdadunya berani menggusur kawasan elit tersebut ?Mall atau bahkan Rumah Pak Ahok sendiri yang konon berada di kawasan perumahan elit yang peruntukannya melanggar aturan. Dan bukan hanya bisa menggusur kawasan warga menengah ke bawah yang butuh kepastian tempat tinggal. Namun, pernahkah kita melihat di layar berita tersurat Pemprov DKI melakukan penggusuran di kawasan elit tersebut?
Sikap tidak adil Pemprov DKI ini yang menjadi masalah. Ketidak-adilan yang sering dilakukan kepada warga miskin. Sikap membohongi masyarakat yang tinggal di kawasan yang digusur itupun sering dilakukan. Dari wacana gubernur sebelumnya yang akan melegalkan kawasan-kawasan yang ilegal sampai sikap bohong Gubernur saat ini yang tidak akan menggusur sebelum para penghuni diberikan tempat tinggal pengganti.
Mengatasi banjir memanglah tugas berat namun harus menjadi perhatian yang serius. Solusi yang diberikan jugalah harus memiliki nilai keadilan dan ketentraman. Dengan penekanan dialog terbuka dan persuasif agar tidak memicunya kericuhan sesama anak bangsa. (Mahasiswanews.com)
*) Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Kejamnya Ibukota Mengusir Anaknya Sendiri
Reviewed by Redaksi
Redaksi
19:18:00
Rating:

No comments: