Gagalnya Teleransi Umat di Aceh
Ilustrasi (ROL)
Oleh: Khairil Miswar*
Tebar Suara | Beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada Februari 2016, saya mendapatkan satu teks salinan (copy) surat yang ditandatangi oleh Camat Juli Drs Munir. Salinan surat dan sejumlah lampiran tersebut saya peroleh dari seorang informan di Kabupaten Bireuen.
Buat saya, ini tidaklah aneh. Saya sendiri adalah warga Kabupaten Bireuen. Surat tersebut berisi hasil rapat musyawarah rencana pembangunan Masjid At-Taqwa Muhammadiyah di Kecamatan Juli. Dalam surat yang ditandatangani oleh Camat Juli pada 3 Januari 2016, pada poin (a) tertulis:
Bahwa Keputusan Masyarakat Juli menolak dan tidak menerima atas Rencana Pembangunan Masjid At-Taqwa Muhammadiyah di Dusun Teungoh Gampong Julir Keude Dua Kemukiman Juli Utara Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen. Masjid yang akan dibangun tersebut merupakan masjid kelompok dan bukan masjid Ahlul Sunnah Waljama’ah.
Dalam notulen rapat yang terlampir dalam surat camat tersebut, terdapat saran dari Tgk Saifuddin. Ia merupakan utusan MPU untuk Kecamatan Juli. Tgk Saifuddin berpendapat;
Dalam hal rencana mendirikan Masjid At-Taqwa Muhammadiyah adalah merupakan pendirian masjid kelompok (ormas). Sesuai dengan Alquran surat At-Taubah menjelaskan mendirikan masjid kelompok dilarang karena dapat memecah belah umat ....''
Dalam tanggapan peserta rapat (masih dalam Notulen), seorang mantan kombatan GAM, Keuchiek Malek, mengatakan: ''81 persen penduduk setempat menolak pembangunan mesjid tersebut ....''
Sementara itu, dalam berita yang dirilis sangpencerah.com, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bireuen Athaillah A Latief mengatakan, pihak Muhammadiyah telah mendapatkan donatur yang siap membangun masjid, tempat wudhu, rumah imam, dan dua kelas untuk program tahfidhul Quran.
Menurut Athaillah, semua persyaratan pembangunan masjid sudah dipenuhi, termasuk dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan penyerahan fotokopi KTP sejumlah 150 orang. Kemudian, IMB juga sudah didapatkan dari keuchik kampung, camat, dan Sekda Kabupaten Bireuen. Namun, masih menurut Athaillah, rekomendasi pembangunan masjid mulai tersendat di kantor Kementerian Agama Bireuen.
Uniknya lagi, dalam keterangan yang dirilis oleh Republika.co.id, Atthailah menyebut Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) menyamakan masjid yang akan dibangun Muhammadiyah dengan masjid dhirar sehingga berdasarkan surat at-Taubah ayat 107, masjid tersebut boleh dirusak, dibakar, dan dihancurkan.
Selain itu, Atthailah mengatakan bahwa Kemenag Bireuen menolak memberikan rekomendasi pembangunan masjid atas dasar surat yang dikirimkan oleh kecamatan dan Polres Bireuen.
Setelah menyimak uraian di atas, kira-kira apa yang terpikir oleh kita? Tentunya sulit bagi kita, khususnya sebagai seorang Muslim untuk memahami fenomena ini. Pembangunan masjid dilarang (ditolak) di daerah yang mayoritas penduduknya Muslim. Anehnya lagi, pelarangan tersebut didasarkan pada argumen rapuh dan bahkan irasional.
Pembangunan masjid Muhammadiyah ditolak oleh "segelintir" orang dengan alasan akan terjadi perpecahan dalam masyarakat. Ditinjau dari sudut pandang mana pun, alasan ini tentunya tidak dapat diterima dan terkesan mengada-ngada.
Jika argumen ini disederhanakan, maka hampir dapat disimpulkan pihak yang menolak pembangunan masjid tersebut secara tidak langsung telah menganggap Muhammadiyah adalah biang perpecahan. Lantas benarkah demikian?
Secara tidak langsung mereka (penolak masjid) telah mengkhinati sejarah. Tidakkah mereka tahu bahwa Muhammadiyah punya kontribusi besar terhadap negeri ini? Tidakkah mereka paham bahwa Muhammadiyah telah beramal untuk bangsa ini, jauh sebelum Republik Indonesia lahir?
Tidakkah mereka sadar, lahirnya pendidikan modern seperti sekarang ini tidak terlepas dari amal usaha Muhammadiyah? Bahkan mungkin sebagian anak-anak mereka adalah lulusan sekolah dan kampus-kampus Muhammadiyah. Apa mungkin mereka lupa? Atau pura-pura tidak tahu? Wallahu a’lam.
Beberapa Catatan
Saat ini, kita dihadapkan pada kenyataan yang benar-benar tidak masuk akal. Seandainya aksi penolakan masjid ini terjadi di daerah minoritas Muslim, mungkin masih bisa dipahami. Tetapi anehnya, penolakan pembangunan masjid justru terjadi di Serambi Makkah. Miris memang, tapi apa hendak dikata, ini adalah fakta yang harus ditelan.
Terkait penolakan pembangunan masjid Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita semua. Pertama, penyebutan masjid Muhammadiyah sebagai masjid kelompok.
Dari sisi bahasa, penyebutan ini sah-sah saja, mengingat Muhammadiyah adalah sebuah ormas. Namanya ormas, sudah tentu kelompok. Jika yang dimaksudkan bahwa masjid tersebut dibangun oleh kelompok Muhammadiyah maka dapat dibenarkan.
Tetapi, jika yang dimaksud masjid tersebut hanya dikhususkan untuk kelompok Muhammadiyah maka ini keliru besar. Buktinya, ketika saya shalat di Masjid at-Taqwa Muhammadiyah Bireuen, para pengurus masjid tidak pernah meminta saya menunjukkan kartu anggota Muhammadiyah.
Saya bukan anggota Muhammadiyah, tapi saya bisa shalat di masjid Muhammadiyah tanpa kena sweeping. Dengan demikian, tudingan masjid Muhammadiyah sebagai masjid kelompok hanya "bualan" belaka.
Kedua, pembangunan masjid Muhammadiyah di Kecamatan Juli dilarang karena masjid tersebut bukan masjid Ahlussunah wal Jamaah. Jika yang dimaksudkan sebagai Ahlussunah wal Jamaah adalah khutbah Jumat pegang tongkat, selesai shalat zikir berjamaah, atau shalat Tarawih 20 rakaat, maka tudingan ini mungkin saja benar. Sebagaimana diketahui, masjid-masjid Muhammadiyah memang tidak ada melakukan praktik semacam itu.
Tetapi, jika yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jamaah adalah orang-orang yang konsisten terhadap Alquran dan sunah serta anti kepada segala bentuk kesyirikan, sekecil apa pun, maka Muhammadiyah adalah Ahlussunah wal Jamaah yang paling "orisinal".
Dengan demikian, tudingan masjid Muhammadiyah sebagai bukan masjid Ahlussunah wal Jamaah harus dikaji kembali dengan merujuk kepada literatur keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Artinya, pendefinisian Ahlussunnah harus terbebas dari ego mazhab tertentu.
Ketiga, tudingan pihak MPU yang menyatakan masjid Muhammadiyah sama dengan masjid dhirar, seperti dikatakan Atthaillah, itu merupakan klaim yang tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, hal itu justru bisa merusak wibawa MPU di mata umat. Semestinya, pihak yang mewakili MPU harus melakukan kajian secara mendalam sebelum mengeluarkan statement yang membingungkan semacam ini.
Sampai saat ini belum ditemukan fatwa resmi dari MPU Aceh yang menyebut masjid Muhammadiyah sama dengan masjid dhirar. Hal ini harus disikapi dengan serius oleh MPU, jangan sampai ada pihak-pihak yang ingin mencemarkan nama MPU melalui pernyataan-pernyataan destruktif-provokatif.
Selain itu, sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia juga tidak pernah mengeluarkan statement bahwa masjid Muhammadiyah sama dengan masjid dhirar. Lagi pula, Majelis Ulama Indonesia juga pernah dipimpin oleh kader-kader Muhammadiyah.
Keempat, terkait dengan kekhawatiran akan adanya pertumpahan darah jika pembangunan masjid Muhammadiyah dilakukan, maka hal ini menjadi tugas tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan pemahaman kepada umat. Bukankah Islam menganjurkan toleransi dan saling menghargai?
Tidak ada alasan untuk menumpahkan darah kaum Muslimin. Alquran dan sunah secara terang benderang telah menjelaskan dan menegaskan bahwa haram hukumnya menumpahkan darah kaum Muslimin tanpa hak (alasan syar’i). Sebagai Muslim, kita tentu paham akan hal ini.
Kelima, pihak kecamatan (camat Juli) selaku perpanjangan tangan pemerintah seharusnya mampu bersikap arif, bijaksana, dan tidak diskriminatif dalam melayani warga negara. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama.
Terkait dengan pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah oleh sebagian warga di Juli, camat selaku pemerintah harus mampu memberi pencerahan kepada masyarakat bahwa Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam. Ormas ini juga berhak hidup di seluruh jengkal tanah Indonesia. Artinya, seorang camat tidak serta-merta harus menuruti keinginan sebagian pihak dan mengabaikan hak pihak-pihak lain.
Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Dengan demikian, melarang umat Islam mendirikan masjid sama saja dengan melarang umat Islam beribadah. Terkait adanya perbedaan praktik ibadah tidaklah menjadi alasan untuk melakukan pelarangan karena UUD 1945 menjamin kebebasan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing.
Keenam, sebagaimana dikemukakan oleh Atthaillah bahwa pihak Kementerian Agama Kabupaten Bireuen juga terkesan mempersulit (tidak memberikan rekomendasi) pembangunan Masjid At-Taqwa Muhammadiyah di Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Dalam hal ini, tentu patut dipertanyakan kualitas kepala Kemenag Bireuen yang jelas-jelas tidak mampu mengendalikan situasi sehingga terkesan mengikuti arus.
Adalah sangat naif jika seorang kepala Kemenag tidak mengenal Muhammadiyah. Tidak tegasnya kepala Kemenag Bireuen dalam menangani kasus ini secara tidak langsung telah mencoreng kewibawaan Kementerian Agama di mata masyarakat Indonesia. Semoga saja Kemenag Bireuen tidak terjebak dalam kepentingan pragmatis.
Di akhir tulisan ini, sebagai sesama Muslim, saya mengajak kita semua untuk saling menghargai satu sama lain. Semoga saja, dalam bulan Ramadhan tahun ini kita dapat memaksimalkan ibadah kepada Allah SWT dan juga mampu menebar kasih sayang sesama kita.
Mari hilangkan ego mazhab dan saling menahan diri dalam menyikapi segala perbedaan. Semoga saja kita benar-benar menjadi insan yang bertakwa. Wallahu waliyut taufiq. (ROL) [tebarsuara.com]
*) Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan juga mantan Santri Dayah Darussa’dah.
Gagalnya Teleransi Umat di Aceh
Reviewed by Redaksi
Redaksi
05:19:00
Rating:
No comments: