INI ACEH BROE!
Oleh: Anton Widyanto*
ACEH baru saja digoyang beberapa peristiwa “pelecehan sejarah”. Masih hangat dalam ingatan kita, sosok Flavia Celly Jatmiko yang mencatut nama Aceh sebagai asal daerah dan tampil di ajang Miss Indonesia 2016 dengan penampilan yang justru mengangkangi nilai-nilai syariat Islam. Kecelakaan sejarah ini bukan kali pertama sebenarnya, akan tetapi perulangan peristiwa serupa pada ajang Miss Indonesia 2015 saat Ratna Nurlia Alfiandi yang sama-sama mencatut Acehmempertontonkan auratnya ke khalayak umum.
Tidak cukup sampai di sini, “pelecehan sejarah” kembali terjadi ketika ajang lenggak-lenggok berjudul Indonesia Model Hunt 2016 digelar di Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh, Minggu (29/2/2016). Acara yang tidak mengantongi izin resmi pihak kepolisian maupun Pemko Banda Aceh ini diikuti ratusan peserta dari seluruh Aceh. Wali Kota Banda Aceh yang tentu saja merasa gerah, turun langsung menghentikan acara dimaksud. Tercatat dalam peristiwa tersebut beberapa model dengan berani memamerkan auratnya; mengenakan celana ketat, rok dan baju mini serta tidak berjilbab. Sebuah peristiwa miris yang dipertontonkan di Nanggroe Syariat (Serambi, 28/2/2016).
Saya berkeyakinan, bagi orang yang anti dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh serta mendewakan kebebasan berekspresi, respons keras masyarakat Aceh terhadap beberapa peristiwa “pelecehan sejarah” di atas pasti akan menjadi sasaran tembak yang empuk. Senjatanya apalagi kalau bukan atas nama kebebasan berekspresi.
Isu kebebasan berekspresi memang selalu saja menarik untuk digoreng, digongseng, dan diberikan “bumbu penyedap” hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Isu ini bahkan sebenarnya telah menjadi senjata ampuh bagi orang-orang tertentu yang ingin melegalkan perbuatan-perbuatan anti Tuhan.
Kebebasan berekspresi dipahami oleh orang-orang sedemikian rupa sebagai kebebasan tanpa sekat, sehingga cenderung mengabaikan nilai-nilai moralitas baik terkait dengan agama maupun nilai-nilai etika yang genuine dan hidup dalam sosial kemasyarakatan. Seolah-olah kebebasan berekspresi adalah tindakan yang bebas nilai, tanpa memerlukan campur tangan moralitas. Sungguh penafsiran yang absurd, menggelikan dan irrasional.
Semakin menguat
Sayangnya justru isu-isu seperti inilah yang semakin menguat di negeri kita ini karena memang dipoles dengan rapi dan sistematis. Akhirnya, seolah-olah, orang-orang yang masih menyuarakan moralitas atas nama nilai-nilai ajaran agama dan kultur ketimuran masyarakat serta nilai-nilai kearifan lokal, dianggap sebagai suara orang-orang iri, tidak kenal perkembangan zaman, primitif, kolot, kaku, terbelakang, tidak modern, berpandangan sempit dan memalukan. Sungguh sesat tafsir kebebasan bereskpresi yang naïf sekaligus menyesatkan.
Pertanyaannya, kenapa peristiwa pelecehan marwah Acehsedemikian rupa kembali terulang? Apakah ada desain skenario pihak tertentu yang sengaja disusun untuk mencoreng wajah syariat Islam Aceh, sehingga yang terlihat ke permukaan adalahAceh yang kolot, kuper, kaku, ketinggalan zaman dan seterusnya? Jawabannya bisa jadi memang ada, bisa jadi juga tidak.
Bagi saya ada atau tidaknya grand design untuk mencoreng wajah Aceh tidak terlalu penting untuk dijawab. Akan tetapi bahwa terdapat indikasi-indikasi pihak tertentu yang menginginkan kegagalan Aceh dalam melaksanakan syariat Islam memang sudah terlihat dari sejak awal Aceh memproklamirkan diri sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang melaksanakan syariat Islam.
Terlepas dari itu, yang paling penting menurut saya adalah posisi dan sikap masyarakat Aceh sendiri dalam merespons pelecehan-pelecehan sedemikian rupa. Somasi yang dilakukan PemerintahAceh baik oleh Wali Kota Banda Aceh, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), maupun anggota DPD asal Aceh, serta demonstrasi damai yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat Aceh ketika merespons adalah langkah-langkah bijak yang layak diacungi jempol.
Bahkan jika memungkinkan, penempuhan jalur hukum untuk memidanakan pihak yang melakukan pelecehan tersebut (jika memang terbukti melanggar ketentuan perundang-undangan) tentu juga akan sangat diapresiasi. Yang perlu dihindari adalah aksi-aksi tak simpatik yang justru bisa bersifat kontraproduktif. Alih-alih mau membersihkan citra Aceh, jika memang tindakan protes yang dilayangkan bersifat destruktif, maka justru efeknya bisa membuat citra Aceh menjadi buruk. Hal seperti inilah yang memang menjadi target orang-orang yang menginginkan syariat Islam di Aceh terkesan menakutkan, kaku, tidak humanis, menyeramkan dan seterusnya. Syariat Islam pun dijegal agar menemui kegagalan.
Sebagai masyarakat Aceh, sudah selayaknya kita bangga melaksanakan syariat Islam di wilayah sendiri. Kalaupun ada kekurangan pada konsep dan pelaksanaannya, tetap bisa dikritisi secara konstruktif. Sebab pada dasarnya pelaksanaan syariat Islam di Aceh tidak bisa dilaksanakan secara instan, asal-asalan dan terburu-buru. Akan tetapi secara bertahap dan tentu saja selalu memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan. Hal ini sudah barang tentu membutuhkan waktu yang panjang karena bagian dari sebuah proses.
Perlu direspons
Peristiwa-peristiwa pelecehan terhadap marwah syariat Islam diAceh yang telah terjadi baik saat pagelaran ajang Miss Indonesia 2015 dan 2016, maupun Indonesia Model Hunt 2016 perlu direspons dengan sikap yang tegas dan bijak. Ketegasan yang disampaikan oleh Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, yang meminta kepada pihak penyelenggara untuk meminta maaf di media massa sebagaimana dilansir Serambi Indonesia(1/3/2016) sudah tepat.
Gerakan yang mengecam peristiwa-peristiwa pencorengan marwah syariat Islam di Aceh yang dilakukan oleh beragam elemen masyarakat Aceh baik dari unsur internal organisasi kampus, maupun organisasi massa, juga layak diacungi jempol. Kesemuanya menyampaikan pesan tegas kepada khalayak luas agar jangan main-main dengan nilai-nilai luhur yang dipedomani rakyat Aceh. Sehingga peristiwa sedemikian rupa diharapkan tidak terulang lagi di masa mendatang.
Meski demikian, di sisi lain, aksi umbar aurat yang terjadi pada ajang Indonesia Model Hunt 2016, juga patut dijadikan bahan instrospeksi bagi masyarakat Aceh sendiri, khususnya para orang tua. Dikarenakan para pelaku yang mengumbar aurat tersebut adalah para generasi muda Aceh sendiri. Mengapa ini bisa terjadi? Tentu di sini peran pihak orang tua masing-masing anak yang perlu dipertanyakan. Semestinya mereka mengawal dengan baik anak mereka sejak masa pelatihan sampai ketika tampil hari H, sehingga “kecelakaan sejarah” seperti ini tidak akan terjadi.
Di akhir tulisan ini saya tegaskan kembali bahwa suara-suara miring yang cenderung mencoreng dan menyudutkan wajah syariat Islam di Aceh kemungkinan masih akan tetap bermunculan. Kesemuanya harus direspons dengan konstruktif, bijak dan elegan. Sebab syariat Islam di Aceh dengan segala keunikannya, harus menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dengan wajah tersenyum. Kalaupun ada pihak yang berupaya mencorengnya (baik dari kalangan internal maupun eksternal) masyarakat Aceh, kita bisa dengan bangga mengatakan: Ini Aceh Bro! Wallahu a’lam bis shawab.
*) Dr. Anton Widyanto, M.Ag, Ed.S., peneliti Center for Area Studies (CfAS) UIN Ar-Raniry dan ICAIOS. Email: awidya09@gmail.com di kutip dan di Salin dariHarian Serambi Indonesia
INI ACEH BROE!
Reviewed by Redaksi
Redaksi
12:39:00
Rating:
No comments: