Ini Aceh Ya, Bukan DKI...
“Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Walillahilham.”
“Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil - hamd.”
Tebar Suara | Suara itu terdengar bergema. Sangat merdu. Seorang bocah tersenyum saat melintasi di atas mobil bak terbuka. Ia memakai baju koko dengan kupiah haji. Mikrofon di tangannya berayun mengikuti gerak badan. Ia seolah larut dengan gema takbir yang dilantuninya.
Sementara beberapa bocah lainnya terlihat senang ikut bertakbir keliling. Sesekali berbisik dan tertawa bersama. Mereka memakai peci dengan motif hampir sama. Mobil yang mereka tumpangi berlaju pelan di jalan Krueng Mane-Sawang, Kabupaten Aceh Utara, Selasa malam, 5 Juli 2016.
Sementara beberapa mobil lainnya mengekor dengan santai di belakang mereka. Macet, namun tak ada yang protes.
Gema takbir juga terdengar dari masjid masjid terdekat. Suasana kemeriahan Idul Fitri terasa kental.
“Allaahu akbaru kabiiraa walhamdulillaahi katsiiraa, wasubhaanallaahi bukrataw - wa ashillaa. Laa - ilaaha - illallaahu wahdah, shadaqa wa'dah, wanashara 'abdah, - wa - a'azza - jundah, wahazamal - ahzaaba wahdah. Laa - ilaaha illallallahu walaa na'budu illaa iyyaahu mukhlishiina lahuddiina walau karihal - kaafiruun, walau karihal munafiqun, walau karihal musyrikun. Laa - ilaaha illallaahu wallaahu akbar.Allaahu akbar walillaahil – hamd.”
Suara takbir itu kembali terdengar.
Beberapa polisi serta tentara terlihat sibuk mengatur lalu lintas di Simpang Pasar Inpres, Krueng Mane.
Jalan Medan-Banda Aceh terlihat padat merayap. Beberapa sepeda motor memilih berhenti untuk melihat suasana takbir keliling.
“Ini pemandangan langka. Sudah lama saya tak melihat takbir keliling seperti ini,” ujar seorang pria berbadan subur. Ia turun dari mobil Inova yang dikemudinya untuk merekam suasana takbir.
“Ini Aceh Bung, bukan DKI Jakarta yang melarang takbir keliling,” ujar temannya di sisi kanan. Ia terlihat tersenyum.
Pria bertubuh subur tadi memperkenalkan diri dengan nama Rahmat, warga Kota Lhokseumawe. Rahmat mengaku bekerja di salah satu perusahaan di DKI Jakarta serta hampir 3 tahun tak berlebaran di Aceh.
“Suasana seperti ini yang saya rindukan dari Aceh. Syiar Islam begitu terasa,” kata Rahmat kepada mediaaceh.co di salah satu warung kopi di Krueng Mane.
“Daripada macet, kami memilih ngopi di sini. Sekaligus menikmati suasana takbir keliling,” kata Ridwan, teman Rahmat. Ridwan mengaku berasal dari Madat, Aceh Utara.
Rahmat mengaku mengambil cuti untuk bisa berlebaran di Aceh. “Hal-hal seperti inilah yang membuat saya merindukan Aceh. Bukan hanya soal macet, tapi syiar Islam nya begitu terasa. Tak ada di Jakarta,” ujarnya lagi. Sementara Ridwan tersenyum.
Suara ledakan marcon tiba-tiba terdengar dari tempat kami duduk. Letusannya membentuk kembang api di langit Krueng Mane.
“Sangat indah. Bagi orang mungkin sudah biasa, namun inilah keindahan berlebaran di Aceh. Kemeriahannya berbeda,” ujar Rahmat tersenyum. Sementara Ridwan hanya mengangguk.
Pukul 23.15 WIB, arus lalulintas kembali normal di Krueng Mane. Rahmat meminta izin pamit. Ia kembali mengemudi mobil dengan pelan. Di belakangnya, satu unit mobil truk mengekor pelan dari arah belakang. Beberapa pria muda mengumandangkan takbir.
“Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Walillahilham.” (MediaAceh) [tebarsuara.com]
Ini Aceh Ya, Bukan DKI...
Reviewed by Redaksi
Redaksi
08:34:00
Rating:
No comments: